Kita semua memahami kondisi keuangan negara indonesia saat ini dalam keadaan yang tidak terlalu baik, cash flow nya. kita juga mengetahui pada saat ini bisnis nasional juga tidak berjalan dengan baik karena efek social distancing sejak 3 bulan kemarin terutama berimbas ke sisi UKM yang menyerap 97% angkatan kerja nasional.
Kita juga tahu ekpor tidak terlalu baik juga impor karena efek dari protocol covid setiap negara berbeda sehingga volume perdagangan turun, bahkan di banyak negara terjadi de-globalisasi alias pasar hanya domestik kearah resesi.
Investasi baru bagi investor banyak yang memilih menahan sambil MENUNGGU efek tiongkok dan amerika bersitegang dengan batas akhir adalah november 2020 dimana pilpres amerika di adakan.
Hal ini membuat banyak investor menunggu tahun 2020 berakhir baru mengambil tindakan, hanya sedikit yang berani ambil resiko di masa covid dan ketegangan 2 negara raksasa tadi.
Fakta data lainnya lagi , di ketahui bahwa 70% uang beredar diluar pemerintah di pegang hanya oleh 2000 akun bank atau kalau 1 orang punya 2 – 3 akun, ternyata 2000 akun itu dimiliki tidak lebih 200 an keluarga atau kelompok bisnis yang memegang 70% keuangan tersebut di indonesia.
Di saat pandemi dan perang amerika tiongkok, kaum 2000 akun ini hanya sedikit yang mau bergerak membangun baru. Mereka hanya memutar yang sudah ada. Kesadaran atau awareness terhadap kesehatan mereka tinggi, sangat faham akan fatality dari covid sehingga di buka PSBB atau di longgarkan, mereka tetap hati hati dalam bertindak.
Tanpa investasi baru, dengan slow down mood ekonomi dari kaum 2000 akun ini, maka perputaran domestik bisa dikatakan volumenya turun cukup banyak, angka pastinya saya tidak tahu namun sampai bulan september nanti mungkin mereka belum aktif.
Dunia internasional bagaimana? Multinasional organisasi semacam IMF, world bank, dunia pasar modal seperti wallstreet mencatat penurunan volume transaksi dan arus uang. Semua orang seakan dalam kondisi siaga, red alert.
Di tengah terbatasnya dana APBN, di tengah turunnya transaksi berjalan, di tengah konflik dua negara besar tiongkok amerika, inilah masa yang paling tepat untuk INDONESIA MENGAMBIL LANGKAH STRATEGIS, cepat dan silent!!!
Apa yang akan kita lakukan?
Sebelumnya izinkan saya memberi sedikit ilustrasi agar memahami apa yang akan kita lakukan. Saya memiliki sahabat, sudah seperti kakak saya sendiri,seorang wanita pengusaha batik berusia 63 tahun.
3 tahun lalu dia di vonis di kepalanya ternyata jaringan syarafnya ada blocking 20% di saluran darahnya dimana resiko jika di operasi peluangnya sehat seperti semula hanya 50%, kemungkinan kan ada catat permanen dalam dirinya.
Dia dalam keadaan dilema berat sementara ketika ada ‘serangan” kepalanya bisa sakit luar biasa bahkan pain killer sudah dosis terbesar itupun bisa pingsan karena menahan sakit.
Dalam kebimbanganya dia memilih membatik. Membatik menjadi pelipur laranya dan hiburannya. Setiap saat siang malam dia membatik selama 8 jam sehari bahkan hingga larut malam. Ketika membatik dirinya TRANCE. Setengah tidak sadar, dan terus dirinya dipertahankan dalam dunia trance pikiranya tadi.
2 tahun berlalu dia merasa heran karena sakit yang di deritanya ternyata jarang kambuh kalaupun kambuh hanya sedikit, diminum parasetamol hilang.
Kemudian dia memutuskan untuk melakukan CT scant di kepalanya dan dokter terkejut ternyata syaraf baru muncul melompati jaringan syaraf lamanya. Alias jaringan tersebut menjadi menyambungkan jaringan lama.
Dengan demikian kalaupun di operasi penyumbatannya, resikonya kecil untuk menjadi masalah karena jaringan baru tercipta. Benar, operasi dilakukan ternyata dia sekarang sehat kembali seperti sediakala.
Sekarang, apa moral cerita ini dalam strategi membangun ekonomi dan menyelesaikan masalah kedaulatan di bangsa indonesia?
Kita tahu salah satu strategi membangun ekonomi adalah dengan membangun “supply” atau membangun industri. Salah satu ilmu ekonomi yang kita akan gunakan adalah startegi yang namanya ECONOMIC AT WAR.